Di tengah derasnya arus digitalisasi dan perubahan birokrasi pemerintahan, kisah sederhana seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kecamatan Bayang, Kabupaten Pesisir Selatan, bisa menjadi cermin bagi banyak pegawai negeri lainnya. Ia adalah Revi Marta, sosok yang dikenal rendah hati, disiplin, dan tekun belajar, meski sudah lebih dari dua dekade mengabdi di pemerintahan.
Revi Marta bukan pejabat tinggi, bukan pula pemegang jabatan strategis. Ia hanyalah pelaksana di Kantor Camat Bayang. Namun, dedikasinya dalam melayani masyarakat membuat namanya dihormati oleh rekan dan atasannya.
Ia mulai mengabdi jauh sebelum status PNS disandangnya. “Saya mulai bekerja di kantor camat sekitar tahun 1999,” katanya dengan senyum tenang. “Waktu itu masih honorer, belum ada fasilitas seperti sekarang.”
Dua puluh tiga tahun berlalu, pada tahun 2002 Revi sudah menjadi Pegawai Negeri Sipil. Sebuah penghargaan yang datang bukan karena keberuntungan, melainkan karena ketekunan dan kesetiaannya menjalani tugas.
Dengan pangkat Pengatur II/c, Revi memulai kariernya dari bawah, dari Golongan I/c. “Tidak pernah terbayang bisa sejauh ini,” ujarnya lirih. “Saya hanya jalani saja apa yang menjadi tanggung jawab saya.”
Di mata banyak orang, Revi adalah sosok yang sederhana. Namun bagi Camat Bayang dan rekan-rekannya, ia adalah penjaga ritme kantor. Datang paling awal, pulang paling akhir. Semua urusan kecil kantor, dari administrasi hingga pelayanan masyarakat, hampir tak lepas dari tangannya.
“Disiplin itu sudah jadi kebiasaan,” tuturnya. “Kalau kantor buka jam delapan, saya sudah di situ dari jam tujuh tiga puluh.”
Di era birokrasi modern, di mana pelayanan publik dituntut cepat dan berbasis teknologi, tak sedikit ASN senior yang merasa kewalahan. Tapi tidak bagi Revi. Ia memilih untuk belajar, perlahan namun pasti.
“Awalnya memang sulit. Tapi kalau tidak belajar, bagaimana kita bisa kerja?” ujarnya sambil tertawa kecil. “Sekarang hampir semua pakai komputer, aplikasi, dan sistem digital.”
Hari ini, Revi datang ke Dinas Kominfo Pesisir Selatan untuk mengikuti Bimbingan Teknis Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). Kegiatan itu baginya bukan sekadar pelatihan, tapi sebuah kesempatan untuk memahami arah baru pemerintahan modern.
Ia duduk di antara peserta lain dengan penuh perhatian. Sesekali mencatat, sesekali bertanya. Tidak ada rasa canggung meski sebagian peserta jauh lebih muda darinya.
“Saya memang tidak ahli IT, tapi saya berusaha memahami. Karena ke depan, semua layanan akan serba digital,” katanya tegas.
Bagi Revi, menjadi ASN bukan hanya soal bekerja sesuai jam kantor, melainkan soal mengabdi untuk melayani masyarakat dengan sepenuh hati. “Pelayanan yang baik itu tidak harus mewah, cukup dilakukan dengan niat yang tulus,” katanya.
Pengalaman panjang membuatnya memahami betul dinamika pelayanan publik di tingkat kecamatan. Dari mengurus surat keterangan, mendampingi musyawarah nagari, hingga melayani administrasi kependudukan.
Ia tahu bahwa masyarakat kini menuntut pelayanan yang cepat dan akurat. “Sekarang orang tidak mau menunggu lama. Karena itu, kita harus bisa menyesuaikan diri,” ujar Revi.
Dalam perbincangan singkat di sela Bintek, Revi mengaku tidak pernah bermimpi menjadi orang besar. Ia hanya ingin tetap berguna. “Kalau masih bisa membantu orang lain, itu sudah cukup,” ucapnya.
Di usia pengabdian yang hampir seperempat abad, semangatnya justru tak luntur. Setiap perubahan, ia sambut dengan hati terbuka. “Jangan takut dengan teknologi,” ujarnya memberi pesan kepada ASN lain.
Bagi Revi, digitalisasi bukan ancaman, melainkan alat bantu untuk mempercepat pelayanan. “Kalau kita mau belajar, semua jadi mudah,” tambahnya.
Ketika banyak ASN yang merasa sudah cukup puas dengan rutinitas, Revi justru menunjukkan bahwa belajar tidak mengenal usia dan jabatan. “Saya ingin generasi muda di kantor bisa lebih maju lagi,” ujarnya merendah.
Rekan-rekannya sering menjadikannya panutan dalam hal disiplin. “Beliau itu seperti jam dinding,” canda seorang staf. “Kalau beliau belum datang, rasanya kantor belum siap buka.”
Sikap tenang, kesederhanaan, dan keikhlasan itulah yang membuat Revi disegani. Tidak ada keluhan tentang tugas berat, tidak ada protes soal fasilitas. Semua dijalani dengan lapang dada.
“ASN itu pelayan masyarakat,” ujarnya mengutip pesan lama dari seorang camat senior. “Kalau kita tidak siap melayani, berarti kita belum layak menyandang status itu.”
Di akhir percakapan, Revi hanya tersenyum ketika ditanya apa yang membuatnya tetap semangat. “Mungkin karena saya mencintai pekerjaan ini,” jawabnya singkat.
Dari sosok sederhana bernama Revi Marta, pelajaran besar bisa dipetik: pengabdian tidak diukur dari jabatan atau pangkat, tetapi dari ketulusan dan konsistensi dalam bekerja. Di tengah laju digitalisasi dan perubahan zaman, ia membuktikan bahwa semangat belajar dan disiplin tetap menjadi kunci pelayanan publik yang bermakna.