Sebuah video perundungan siswa baru-baru ini sempat menggemparkan jagat maya. Di balik viralnya rekaman itu, terselip pertanyaan mendasar, sudah seaman apa lingkungan belajar bagi anak-anak kita? Sekolah seharusnya menjadi tempat tumbuhnya karakter, bukan ruang yang menimbulkan trauma.
Kasus perundungan yang terjadi di SMPN 5 Linggo Sari Baganti baru-baru ini menjadi perhatian publik, setelah beredar video di media sosial yang memperlihatkan seorang siswa diikat ke batang pohon oleh sejumlah teman sebayanya
Menindaklanjuti kejadian tersebut, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pesisir Selatan (Disdikbud Pessel) langsung bergerak cepat. Kepala Disdikbud Pessel, Salim Muhaimin, menegaskan komitmen pihaknya untuk menciptakan satuan pendidikan yang bebas dari kekerasan, bullying, dan intoleransi.
“Tim Anti Bully sudah berada di lapangan untuk melakukan investigasi dan pendampingan. Kami juga telah berkoordinasi dengan pihak sekolah serta melakukan klarifikasi kepada semua pihak terkait. Insya Allah permasalahan ini segera diselesaikan,” ujar Salim kepada wartawan, Senin (3/11/2025).
Dari hasil investigasi, diketahui bahwa peristiwa tersebut terjadi di luar lingkungan sekolah pada Rabu (29/10/2025). Pihak sekolah segera melakukan penelusuran dan mengadakan mediasi pada Sabtu (1/11/2025) antara orang tua korban dan pelaku.
“Antara siswa pelaku dan korban sudah dibina, saling memaafkan, dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Orang tua korban juga menyepakati penyelesaian damai dan meminta agar kejadian serupa tidak terulang kembali,” jelas Salim berdasarkan laporan tim lapangan.
Pihak sekolah menjamin keamanan dan kenyamanan korban untuk tetap melanjutkan pendidikan di SMPN 5 Linggo Sari Baganti. Meski demikian, Dinas Pendidikan menegaskan pentingnya langkah preventif agar kasus serupa tidak kembali terjadi di masa depan.
“Kami berkomitmen penuh menciptakan satuan pendidikan yang aman, berkeadilan, dan berpihak kepada peserta didik. Setiap kasus kekerasan harus ditangani dengan cepat, adil, dan berpihak pada korban. Pendidikan bukan sekadar akademis, tetapi juga pembentukan karakter anak bangsa yang berintegritas dan berempati,” ucapnya.
Perundungan di sekolah bukan hanya persoalan individu pelaku dan korban, tetapi mencerminkan dinamika sosial di lingkungan pendidikan. Ketika komunikasi antarsiswa tidak sehat dan pengawasan longgar, perilaku agresif mudah tumbuh dan berulang.
Karena itu, sekolah harus berperan sebagai ruang aman dan ramah anak, tempat di mana setiap peserta didik merasa dihargai dan diterima. Dalam hal ini, empati dan toleransi menjadi dua pilar penting yang perlu ditanamkan dalam keseharian di sekolah.
Empati mendorong siswa memahami perasaan orang lain, sedangkan toleransi menumbuhkan sikap menghargai perbedaan. Dua nilai ini menjadi benteng moral yang dapat menekan potensi kekerasan di lingkungan belajar.
Guru memiliki peran vital dalam menciptakan budaya sekolah yang aman. Mereka bukan hanya pengajar, tetapi juga pembimbing karakter dan penjaga iklim sosial di ruang kelas. Kepekaan terhadap perubahan perilaku siswa—terutama tanda-tanda ketakutan, penarikan diri, atau penurunan semangat belajar harus menjadi perhatian bersama.
Program seperti kelas ramah anak, peer counseling, atau forum siswa bisa menjadi sarana efektif untuk mengantisipasi dan menanggulangi kasus perundungan sejak dini. Kepala sekolah juga diharapkan menjadi teladan yang tegas namun bijaksana dalam menegakkan aturan dan menyelesaikan persoalan dengan pendekatan edukatif.
Pencegahan bullying tidak bisa hanya dibebankan kepada sekolah. Orang tua berperan penting membentuk karakter anak di rumah melalui komunikasi terbuka, pengawasan penggunaan gawai, serta pembiasaan sikap hormat dan empati sejak dini.
Dalam kasus di Linggo Sari Baganti, proses mediasi yang melibatkan keluarga korban dan pelaku menjadi bukti bahwa sinergi orang tua dan sekolah mampu meredam konflik dan membangun pemahaman bersama.
Selain itu, masyarakat sekitar juga perlu turut menciptakan lingkungan sosial yang positif. Budaya gotong royong dan saling peduli yang masih kuat di nagari-nagari Pesisir Selatan merupakan modal sosial untuk memperkuat pendidikan karakter di luar kelas.
Sebagai langkah konkret, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pesisir Selatan terus mengkampanyekan Gerakan Stop Bullying di seluruh sekolah dasar dan menengah. Program ini tidak hanya menekankan penindakan, tetapi juga edukasi karakter agar peserta didik tumbuh dalam suasana saling menghormati.
Upaya ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang menjamin setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan fisik, psikis, dan sosial. Selain itu, juga diperkuat oleh Permendikbudristek Nomor 45 Tahun 2023 yang mewajibkan setiap satuan pendidikan menyediakan lingkungan belajar yang aman, inklusif, dan bebas dari kekerasan.
Salim Muhaimin menegaskan bahwa seluruh pihak harus terlibat aktif dalam gerakan ini.
“Sebarkan kesadaran, hargai perbedaan, dan ciptakan ruang aman bagi semua anak di sekolah-sekolah kita,” tuturnya.
Kasus yang sempat viral ini menjadi pelajaran berharga bahwa pendidikan tidak hanya berfokus pada capaian akademik, tetapi juga pada pembentukan karakter dan empati sosial. Sekolah yang aman dan manusiawi akan melahirkan generasi yang kuat secara moral dan berdaya saing.
Membangun lingkungan pendidikan yang bebas kekerasan memang bukan pekerjaan mudah, tetapi dengan kolaborasi antara guru, orang tua, siswa, dan masyarakat, cita-cita itu bukan hal yang mustahil. Karena sejatinya, pendidikan yang sejati adalah yang menumbuhkan manusia seutuhnya berpengetahuan, berperasaan, dan berperikemanusiaan.