Laut merupakan sumber kehidupan bagi jutaan makhluk, baik yang hidup di dalamnya maupun manusia yang menggantungkan hidup dari hasil laut. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, lautan menghadapi ancaman serius akibat meningkatnya jumlah sampah yang dibuang ke perairan, terutama sampah plastik. Fenomena ini tidak hanya mengganggu keindahan pantai, tetapi juga mengancam keseimbangan ekosistem laut dan pesisir. Kabupaten Pesisir Selatan, dengan garis pantai yang membentang lebih dari 200 kilometer, menjadi salah satu wilayah yang paling terdampak oleh permasalahan ini. Sampah laut kini menjadi isu lingkungan yang kompleks karena melibatkan berbagai faktor sosial, ekonomi, dan perilaku masyarakat.
Sampah laut umumnya berasal dari aktivitas manusia, baik di darat maupun di laut. Di daerah pesisir seperti Pesisir Selatan, sebagian besar sampah berasal dari kegiatan rumah tangga, pasar tradisional, serta wisata pantai. Plastik sekali pakai seperti kantong belanja, botol minuman, dan kemasan makanan menjadi penyumbang terbesar. Selain itu, aktivitas nelayan yang menggunakan jaring dan tali plastik juga menambah jumlah sampah di perairan. Banyak di antara sampah tersebut terbawa arus hingga ke laut lepas, menumpuk di pantai, atau tenggelam di dasar laut. Kondisi ini menciptakan ancaman nyata bagi biota laut dan lingkungan pesisir.
Dampak pertama yang paling terlihat dari sampah laut adalah kerusakan ekosistem pesisir. Pantai-pantai yang semula bersih dan alami kini banyak tertutup oleh lapisan sampah plastik. Sampah yang menumpuk di pesisir dapat mengganggu proses alami ekosistem seperti pertumbuhan mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Mangrove yang tertutup plastik akan mengalami kesulitan dalam proses respirasi akar, menyebabkan kematian pohon muda dan berkurangnya kemampuan ekosistem tersebut menyerap karbon. Begitu pula dengan terumbu karang yang tertutup limbah anorganik akan kehilangan kemampuan berfotosintesis, membuat karang memutih dan mati.
Selain mengganggu tumbuhan laut, sampah plastik juga berdampak langsung pada fauna laut. Hewan laut seperti ikan, penyu, dan burung laut sering kali mengira plastik sebagai makanan. Banyak penelitian menunjukkan bahwa plastik mikro telah ditemukan di perut ikan yang dikonsumsi manusia, termasuk ikan yang berasal dari pesisir Sumatera Barat. Penyu sering kali terjerat jaring nelayan yang dibuang sembarangan atau menelan plastik yang mengapung di laut. Burung laut pun mengalami nasib serupa; mereka memakan potongan plastik kecil yang mengapung di permukaan laut, mengira itu adalah ubur-ubur atau plankton. Akibatnya, banyak hewan mati karena sistem pencernaannya tersumbat oleh sampah yang tidak bisa dicerna.
Dampak lainnya yang tak kalah penting adalah penurunan kualitas ekonomi masyarakat pesisir. Sebagian besar warga Pesisir Selatan menggantungkan hidup dari sektor perikanan dan pariwisata. Laut yang tercemar membuat hasil tangkapan ikan menurun, baik dari segi jumlah maupun kualitas. Sampah yang menutupi jaring atau alat tangkap membuat nelayan harus mengeluarkan biaya tambahan untuk perbaikan alat dan bahan bakar karena area tangkapan yang efektif semakin jauh. Sementara itu, sektor pariwisata pantai seperti di Carocok Painan, Mandeh, atau Sungai Nipah juga terdampak. Wisatawan cenderung enggan berkunjung ke pantai yang kotor dan penuh sampah. Hal ini mengakibatkan berkurangnya pendapatan masyarakat yang bergantung pada sektor wisata, seperti pedagang, pemandu wisata, dan pemilik penginapan.
Masalah sampah laut juga membawa dampak sosial yang signifikan. Sampah yang menumpuk di pesisir menimbulkan bau tak sedap, mencemari sumber air, serta menjadi tempat berkembang biaknya penyakit. Masyarakat yang tinggal di pesisir menjadi kelompok paling rentan terhadap dampak ini. Kesehatan lingkungan yang menurun dapat memicu berbagai penyakit seperti infeksi kulit, gangguan pencernaan, dan penyakit pernapasan akibat pembakaran sampah plastik yang tidak terkendali. Dengan kata lain, permasalahan sampah laut bukan sekadar isu lingkungan, tetapi juga persoalan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
Namun, di balik tantangan yang besar ini, muncul berbagai inisiatif dari masyarakat lokal yang patut diapresiasi. Masyarakat pesisir mulai menyadari pentingnya menjaga laut sebagai sumber kehidupan. Di beberapa nagari seperti Ampang Pulai, Tarusan, dan Kambang, sudah mulai terbentuk kelompok sadar lingkungan yang berfokus pada pengelolaan sampah pesisir. Mereka melakukan kegiatan gotong royong membersihkan pantai setiap pekan, serta membuat program edukasi lingkungan di sekolah-sekolah. Kesadaran ini menjadi langkah awal penting untuk menekan volume sampah yang masuk ke laut.
Selain kegiatan bersih pantai, masyarakat juga mulai berinovasi dalam pengelolaan sampah. Beberapa komunitas mengembangkan program eco-brick atau bata ramah lingkungan yang dibuat dari plastik bekas. Plastik dipadatkan dalam botol untuk kemudian digunakan sebagai bahan bangunan sederhana. Program ini tidak hanya mengurangi jumlah sampah plastik, tetapi juga menciptakan nilai ekonomi baru. Di beberapa tempat, ibu-ibu rumah tangga mendirikan bank sampah yang mengumpulkan sampah anorganik untuk dijual kepada pengepul. Dengan cara ini, sampah tidak lagi dipandang sebagai limbah, melainkan sebagai sumber pendapatan tambahan.
Upaya lain yang juga dilakukan adalah mengedukasi nelayan agar lebih bijak dalam menggunakan alat tangkap. Pemerintah daerah bersama organisasi lingkungan berupaya memberikan sosialisasi mengenai bahaya jaring plastik sekali pakai dan mendorong penggunaan alat tangkap ramah lingkungan. Beberapa kelompok nelayan bahkan telah beralih menggunakan jaring dari bahan alami yang dapat terurai. Hal ini menjadi bukti bahwa masyarakat lokal mampu beradaptasi dengan solusi yang berkelanjutan jika mendapatkan dukungan dan pembinaan yang memadai.
Kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, dan lembaga swasta juga menjadi kunci dalam mengatasi permasalahan ini. Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan perlu memperkuat kebijakan pengelolaan sampah terpadu yang melibatkan desa dan nagari. Infrastruktur pengolahan sampah harus diperluas hingga ke wilayah pesisir agar masyarakat tidak lagi membuang sampah ke sungai atau pantai. Sementara itu, sektor swasta dan lembaga pendidikan dapat berperan dalam memberikan pelatihan dan bantuan teknologi sederhana untuk daur ulang sampah.
Tidak kalah pentingnya adalah pendidikan lingkungan sejak dini. Generasi muda harus dibekali dengan kesadaran bahwa menjaga laut berarti menjaga masa depan. Sekolah-sekolah di pesisir dapat mengintegrasikan kurikulum berbasis ekoliterasi, di mana siswa tidak hanya belajar teori, tetapi juga terlibat langsung dalam kegiatan pelestarian lingkungan seperti menanam mangrove, memilah sampah, dan mengolah limbah organik menjadi kompos. Dengan demikian, nilai-nilai kepedulian terhadap alam akan tertanam sejak usia muda dan menjadi budaya baru di tengah masyarakat.
Keberhasilan penanganan sampah laut di Pesisir Selatan sangat bergantung pada perubahan perilaku masyarakat. Tidak cukup hanya dengan program pembersihan sesekali; perlu ada kesadaran kolektif untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dan mengelola sampah dari sumbernya. Pemerintah daerah bisa memperkuat peraturan tentang larangan membuang sampah sembarangan dan memberikan insentif bagi warga yang aktif mengelola limbahnya. Dengan langkah-langkah kecil namun konsisten, perubahan besar dapat terwujud.
Pada akhirnya, laut dan pesisir bukan hanya aset ekonomi, tetapi juga warisan ekologis yang harus dijaga bersama. Jika dibiarkan tercemar, maka kerusakannya akan berdampak panjang terhadap keseimbangan alam dan kehidupan manusia. Namun jika masyarakat pesisir terus bergerak, berinovasi, dan berkolaborasi, maka masa depan laut yang bersih dan lestari bukanlah hal yang mustahil. Kesadaran lokal inilah yang menjadi harapan besar untuk menyelamatkan ekosistem pesisir Pesisir Selatan, sebuah langkah kecil dari masyarakat lokal yang dapat memberikan dampak besar bagi keberlanjutan lingkungan global.