• info@pesisirselatan.go.id
  • Hours: Mon-Fri: 8am – 4pm
Festival Literasi Daerah Pesisir Selatan: Gelorakan Budaya Membaca

09 Oktober 2025

156 kali dibaca

Festival Literasi Daerah Pesisir Selatan: Gelorakan Budaya Membaca

Ketika dunia sibuk berbicara tentang kecerdasan buatan dan teknologi digital, Kabupaten Pesisir Selatan memilih bicara tentang sesuatu yang lebih mendasar: literasi. Bukan hanya tentang membaca buku, melainkan tentang membangun kesadaran dan budaya berpikir kritis yang berakar pada masyarakatnya sendiri.

Pada 5–6 November 2025 mendatang, Dinas Perpustakaan dan Arsip Kabupaten Pesisir Selatan akan menggelar Festival Literasi Daerah (FLD) di halaman kantornya. Di sana akan berkumpul siswa, guru, komunitas literasi, dan para pegiat baca dari seluruh kecamatan.

Festival ini tidak semata ajang lomba bertutur, menulis, atau pameran buku. Ia adalah simbol kebangkitan — bahwa membaca bukan sekadar kegiatan akademik, melainkan bagian dari gaya hidup yang perlu dirayakan.

Sekretaris Dinas Perpustakaan dan Arsip, Loli, menjelaskan bahwa kegiatan ini menjadi wujud nyata semangat untuk memperluas jangkauan literasi. “Pesertanya dari berbagai kecamatan dan komunitas literasi,” ujarnya. Semangat ini menggambarkan bahwa literasi di Pessel tidak hanya milik perpustakaan, tapi milik seluruh lapisan masyarakat.

Menariknya, Perpustakaan Daerah kini sudah tidak hanya mengandalkan rak buku konvensional. Mereka menyediakan buku digital (e-book) dan fasilitas komputer untuk pengunjung. Ini menunjukkan adaptasi lembaga publik terhadap perubahan zaman, di mana membaca kini bisa dilakukan dengan ujung jari.

Rata-rata 200 orang per hari mengunjungi Perpustakaan Daerah Pesisir Selatan. Angka ini cukup membanggakan untuk ukuran kabupaten dengan sebaran geografis yang luas. Namun angka itu baru langkah awal dari perjalanan panjang untuk membangun budaya baca yang benar-benar hidup di tengah masyarakat.

Budaya literasi tidak tumbuh dalam semalam. Ia membutuhkan ruang, waktu, dan keteladanan. Di sinilah pentingnya festival semacam FLD — bukan sebagai acara seremonial, tapi sebagai perayaan peradaban.

Menurut data Dinas Perpustakaan dan Arsip, Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) Pesisir Selatan tahun 2024 mencapai 18,12 dari target 20,80, atau sekitar 87,12 persen. Angka ini menunjukkan kemajuan signifikan meski masih menyisakan pekerjaan rumah.

Di balik capaian itu, masih ada tantangan klasik: terbatasnya regulasi khusus literasi, minimnya tenaga profesional pustakawan, serta akses perpustakaan yang belum menjangkau seluruh nagari terpencil. Tetapi, di sinilah pentingnya kehadiran festival ini sebagai bentuk mobilisasi kesadaran bersama.

Festival literasi, bila dikelola dengan baik, akan melahirkan energi sosial yang besar. Ia menjadi tempat pertemuan ide, ruang ekspresi anak muda, sekaligus wadah bagi komunitas literasi untuk memperluas jangkauan pengaruhnya.

Literasi tidak hanya berbicara tentang membaca buku tebal atau memahami teori sastra. Literasi adalah kemampuan menafsirkan realitas — memahami berita, memilah informasi, dan mengambil keputusan dengan pengetahuan. Dalam konteks itu, literasi adalah benteng pertama melawan hoaks dan kebodohan digital.

Kita hidup di masa di mana informasi membanjir tanpa henti. Di tengah derasnya arus data dan media sosial, kemampuan membaca dan berpikir kritis menjadi mata uang baru dalam kehidupan sosial. Karena itu, membangun masyarakat literat bukan pilihan, tapi kebutuhan.

Festival Literasi Daerah menjadi ruang simbolik untuk mengingatkan kita semua bahwa membaca bukan kegiatan sunyi yang sia-sia. Ia adalah bentuk perlawanan terhadap keacuhan dan kebodohan yang diam-diam merusak masa depan.

Pesisir Selatan memiliki potensi besar: generasi muda kreatif, budaya tutur yang kuat, serta warisan kearifan lokal yang kaya. Literasi dapat menjadi jembatan untuk menghubungkan tradisi lisan dengan dunia digital, agar nilai-nilai lokal tidak hilang ditelan modernisasi.

Bila setiap nagari memiliki satu sudut baca aktif, satu pojok literasi, dan satu komunitas menulis, maka sesungguhnya Pesisir Selatan sedang menyiapkan masa depan yang lebih terang. Karena negara yang kuat dimulai dari masyarakat yang gemar membaca.

Dalam banyak studi, negara-negara maju seperti Finlandia dan Jepang menunjukkan korelasi yang kuat antara kebiasaan membaca dengan produktivitas dan kesejahteraan. Di tingkat lokal, hal yang sama bisa diterapkan — bahwa investasi pada buku adalah investasi pada kualitas manusia.

FLD 2025 menjadi momentum penting untuk mempertemukan tiga pilar literasi: pemerintah, komunitas, dan masyarakat. Tanpa sinergi itu, literasi hanya akan berhenti pada slogan, bukan menjadi gerakan yang berdenyut dalam keseharian.

Pemerintah daerah sudah menunjukkan komitmen. Kini giliran sekolah, guru, dan orang tua untuk melanjutkan nyala itu di rumah dan lingkungan. Literasi harus menjadi bagian dari percakapan sehari-hari, bukan hanya tugas formal di ruang kelas.

Menumbuhkan literasi berarti menumbuhkan empati. Buku membuka mata tentang kehidupan orang lain, tentang dunia yang lebih luas, dan tentang kemungkinan-kemungkinan yang belum kita bayangkan. Karena itu, setiap halaman buku sejatinya adalah jendela kemanusiaan.

Dalam konteks Pesisir Selatan, literasi bisa menjadi jalan untuk memperkuat identitas daerah. Cerita rakyat, kisah pesisir, dan sejarah nagari dapat dihidupkan kembali dalam bentuk tulisan, film pendek, atau konten digital. Inilah literasi yang membumi — bukan meniru, tapi mencipta dari akar budaya sendiri.

Jika FLD tahun ini sukses, ia akan menjadi model festival literasi daerah di Sumatera Barat. Bahkan lebih jauh, ia bisa menjadi gerakan sosial yang menghubungkan literasi dengan sektor lain: pariwisata, pendidikan, dan ekonomi kreatif.

Literasi bukan sekadar urusan buku. Ia adalah urusan masa depan. Bangsa yang literat akan lebih mudah menata kebijakan, mengelola sumber daya, dan memahami arah pembangunan. Tanpa literasi, pembangunan hanyalah deretan proyek tanpa jiwa.

Maka, mari jadikan Festival Literasi Daerah 2025 bukan sekadar dua hari perayaan, tetapi awal dari sebuah gerakan panjang menyalakan cahaya membaca di Pesisir Selatan — dari perpustakaan ke sekolah, dari nagari ke rumah, dari halaman buku ke halaman kehidupan.