• info@pesisirselatan.go.id
  • Hours: Mon-Fri: 8am – 4pm

03 Agustus 2025

12 kali dibaca

Laku Beradab: Jejak Adat dalam Gerak Perempuan Minang 9

Bagian 9: Sumbang Kurenah (Perilaku/Gelagat)
Oleh: Suci Mawaddah Warahmah, S.Sos

Dalam kearifan Minangkabau, perempuan bukan hanya dituntut beradab dalam tutur dan langkah, tetapi juga dalam gelagat yakni sikap tubuh, raut wajah, hingga gestur yang tampak sepele namun sarat makna. Maka adat melahirkan istilah "Sumbang Kurenah", yakni larangan terhadap tingkah laku yang menyimpang dari kepantasan. Kurenah, dalam bahasa sehari-hari, dapat diartikan sebagai perangai atau kebiasaan lahiriah yang tampak dalam keseharian seseorang.

Gelagat Bicara tentang Martabat, tak semua yang menyakitkan berasal dari ucapan, tak semua yang mencederai datang lewat tangan. Ada luka yang lahir dari gelagat, ada keruntuhan yang bermula dari kurenah tingkah laku kecil yang luput diawasi, tapi besar dampaknya bagi martabat seorang perempuan.

Di tanah Minangkabau, tempat perempuan dimuliakan bak limpapeh rumah nan gadang, perilaku bukan hanya dinilai oleh niat, tapi juga oleh kesan. Maka lahirlah Sumbang Kurenah pengingat bahwa setiap anggukan, lirikan, dan bisikan pun bisa membawa pesan, entah kesantunan atau sebaliknya.

Dalam episode terakhir dari Sumbang Duo Baleh ini, kita diajak menyelami satu sumbang yang paling halus namun paling sulit dijaga, sikap dan tampilan diri. Di sinilah seluruh nilai adat, rasa malu, dan norma agama bertemu dalam satu bingkai bernama “adab”.

Namun jangan keliru, yang dilarang bukan semata-mata sikap yang kasar atau terang-terangan menyinggung. Bahkan hal-hal kecil seperti berbisik di tengah keramaian, mengedipkan mata kepada lawan jenis, atau batuk yang dibuat-buat di hadapan orang lain semua itu dapat dikategorikan sebagai sumbang kurenah. Mengapa? Karena gelagat seperti ini mudah menimbulkan prasangka, membuka pintu syak wasangka, dan mencederai kehormatan, terutama ketika dilakukan oleh seorang perempuan yang seharusnya menjadi simbol kesantunan dan keteduhan.

Sumbang kurenah sering muncul secara tidak disadari. Misalnya, seorang perempuan yang tertawa kecil sambil berbisik saat seorang lelaki melintas. Meski ia tak bermaksud apa-apa, orang yang melihat bisa berprasangka buruk. Atau ketika seorang wanita mengedipkan mata kepada orang yang lebih tua, ipar, atau bahkan kepada orang asing apa yang terlihat kecil, dalam kacamata adat, bisa menjadi besar dampaknya. Karena dalam budaya Minang, yang dihitung bukan hanya apa yang dilakukan, tapi juga bagaimana dan di mana hal itu terjadi.

Adat Minangkabau tak sekadar mengatur apa yang boleh dan tidak, tetapi juga mendorong kita merenungi akibat dari perbuatan yang tampaknya remeh. Maka lahirlah petuah seperti:
"Jan dielo-elokan galah jo kaki, jan dijulaikan tali bakeh bagantuang, jan dilabiahkan lantai bakeh bapijak, jan tungkek mambao rabah, jan pawang mamacah timbo, jan paga makan tanaman."
Petatah ini ibarat penuntun agar langkah tak ceroboh, agar tindakan tak jadi senjata makan tuan.

Sumbang kurenah menjadi pagar tak terlihat yang menjaga perempuan Minangkabau tetap berada dalam koridor kesopanan. Ia tak hanya mengatur hubungan antarpribadi, tetapi juga menjaga citra dan martabat seorang wanita dalam mata masyarakat. Ketika perilaku mulai ditata, maka mulailah tubuh, ucapan, hingga sorot mata menjadi cermin dari kemuliaan budi.

Namun jika kurenah yang sumbang ini dibiasakan, dan perempuan mulai menanggalkan rasa malu yang seharusnya menjadi mahkota dirinya, maka terbukalah celah bagi kerusakan sosial. Ketika adab gugur, akhlak ikut runtuh. Dan dari sana, menyusul bentuk-bentuk kemaksiatan yang lebih besar: pergaulan bebas, pelacuran, dan kehancuran rumah tangga. Maka tidaklah berlebihan jika adat menempatkan wanita sebagai "Limpapeh Rumah Nan Gadang" tiangnya marwah, penjaga moral, sekaligus pelindung dari keruntuhan nilai.

Sumbang Kurenah bukan sekadar perkara tingkah, tapi penjagaan terhadap nurani dan rasa malu yang menjadi cahaya dalam diri perempuan Minang. Karena sesungguhnya, yang paling indah dari seorang perempuan bukan sekadar wajah atau pakaiannya, tetapi tingkah lakunya yang bersahaja dan sopan, yang membuat siapa pun segan dan hormat.

Dengan menyempurnakan dua belas sumbang dalam hidupnya termasuk sumbang kurenah ini seorang perempuan Minangkabau tidak hanya menjaga dirinya, tetapi juga menjaga marwah kaumnya. Karena pada dirinya tergantung kokohnya adat, tegaknya rumah tangga, dan langgengnya kehidupan sosial yang beradab.

Menelusuri jejak Sumbang Duo Baleh adalah menyusuri lorong-lorong bijak yang telah lama ditanamkan oleh leluhur Minangkabau, bukan untuk membelenggu perempuan, tetapi untuk memuliakannya. Dua belas sumbang bukanlah larangan yang memenjarakan langkah, melainkan pagar emas yang menjaga cahaya martabat agar tak redup oleh zaman.

Dalam adat yang bersendikan syarak, perempuan tak sekadar hadir sebagai penghuni rumah gadang, tapi sebagai tiang kokoh yang menegakkan marwah keluarga dan kaumnya. Maka ketika satu demi satu sumbang dijaga dari tutur, tindak, hingga kurenah perempuan Minang sedang menorehkan peran agung dalam peradaban, sebagai bundo kandung yang tak hanya mengasuh anak, tapi juga mengasuh nilai, rasa, dan harga diri sebuah bangsa. Di tengah dunia yang kian bias batas dan kabur nilai, mari kita kembalikan cahaya itu ke tempatnya di hati, di diri, di setiap langkah perempuan Minangkabau yang memilih untuk hidup beradab dalam adat, dan bersinar dalam tuntunan syarak.