Kebijakan pemerintah pusat melalui Kementerian Keuangan untuk memangkas dana transfer ke daerah menjadi sorotan tajam di berbagai kalangan. Rencana pemotongan tersebut tercermin dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, di mana alokasi dana transfer ke daerah (TKD) turun signifikan dari sekitar Rp 919,87 triliun pada tahun 2025 menjadi hanya Rp 649,99 triliun. Penurunan yang mencapai lebih dari Rp 270 triliun ini bukan sekadar angka statistik, tetapi membawa konsekuensi besar terhadap kemampuan fiskal dan pembangunan daerah di seluruh Indonesia.
Langkah pemangkasan dana transfer oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa didasari pada alasan efisiensi serta perbaikan tata kelola keuangan di tingkat daerah. Menurutnya, selama ini penyaluran dana transfer sering tidak tepat sasaran dan bahkan berpotensi diselewengkan. Pemotongan dianggap sebagai langkah korektif untuk mendorong daerah memperbaiki kinerja fiskal, meningkatkan transparansi, dan mengefektifkan belanja publik. Pemerintah pusat berharap dengan mekanisme ini, daerah tidak hanya bergantung pada aliran dana pusat, melainkan mulai memperkuat kapasitas fiskalnya sendiri melalui optimalisasi pendapatan asli daerah (PAD).
Namun, kebijakan ini langsung menuai reaksi keras dari banyak kepala daerah. Sejumlah gubernur yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) menyampaikan keberatan terhadap pemotongan tersebut, terutama karena dianggap dilakukan tanpa mempertimbangkan kesiapan daerah menghadapi tekanan fiskal. Beberapa gubernur menilai bahwa pemangkasan hingga 25–35 persen berpotensi menghambat jalannya program pembangunan, terutama di wilayah dengan PAD terbatas. Di Maluku Utara, misalnya, dana transfer yang semula sekitar Rp 10 triliun turun menjadi Rp 6,7 triliun. Sementara di Jakarta, dana bagi hasil (DBH) juga mengalami penurunan hampir Rp 20 triliun. Angka-angka ini menandakan betapa besarnya dampak yang dirasakan langsung oleh pemerintah daerah.
Dalam konteks ekonomi daerah, dana transfer pusat selama ini berperan vital sebagai sumber pembiayaan utama berbagai program pembangunan. Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH) menjadi tulang punggung fiskal bagi sebagian besar daerah di Indonesia. Ketergantungan ini sangat tinggi, terutama di luar Pulau Jawa. Banyak pemerintah daerah masih memiliki struktur pendapatan yang rapuh, di mana lebih dari 70 persen anggarannya bersumber dari transfer pusat. Artinya, pemotongan dana transfer bukan hanya mengurangi kemampuan belanja, tetapi juga mengancam keberlanjutan layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar.
Pemotongan anggaran juga berpotensi menekan kinerja ekonomi daerah. Proyek-proyek fisik yang selama ini dibiayai melalui DAK bisa tertunda, sedangkan belanja pegawai dan operasional yang bersumber dari DAU bisa terganggu. Bagi daerah dengan kapasitas fiskal rendah, ruang fiskal mereka menjadi semakin sempit, sehingga sulit menutupi kekurangan anggaran dengan PAD. Sementara itu, daerah dengan sumber daya alam melimpah yang sebelumnya menikmati DBH juga terkena imbasnya, terutama karena pemerintah pusat kini lebih selektif dalam pembagian hasil dan evaluasi penggunaan dana.
Dari sisi lain, kebijakan ini dapat pula dilihat sebagai momentum penting untuk memperkuat kemandirian fiskal daerah. Sudah lama pemerintah mendorong agar daerah tidak hanya menunggu dana pusat, melainkan aktif menggali potensi ekonomi lokal. Pengembangan sektor pariwisata, pertanian, industri kreatif, serta optimalisasi pajak dan retribusi daerah menjadi jalan yang harus ditempuh. Pemotongan dana transfer, meski terasa pahit, dapat menjadi stimulus untuk mempercepat transformasi menuju kemandirian fiskal yang lebih sehat. Pemerintah daerah didorong untuk melakukan inovasi dalam meningkatkan PAD tanpa menambah beban masyarakat secara berlebihan.
Namun, jalan menuju kemandirian fiskal tentu tidak mudah. Banyak daerah menghadapi keterbatasan struktural, seperti lemahnya basis ekonomi, minimnya investasi, rendahnya kapasitas sumber daya manusia, serta birokrasi yang belum efisien. Tantangan ini diperparah oleh ketimpangan antarwilayah. Daerah maju seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Bali mungkin dapat menutupi kekurangan anggaran dengan potensi PAD yang besar, tetapi daerah tertinggal seperti di kawasan timur Indonesia masih jauh dari mandiri secara fiskal. Tanpa dukungan yang proporsional, kebijakan pemotongan justru berisiko memperlebar jurang ketimpangan pembangunan antarwilayah.
Selain itu, ada kekhawatiran bahwa realokasi anggaran dari pusat ke kementerian justru memperlambat penyaluran dana ke daerah. Jika dana yang seharusnya langsung dikelola pemerintah daerah harus terlebih dahulu melewati mekanisme kementerian atau lembaga pusat, maka efektivitas pelaksanaan program di lapangan bisa terganggu. Proses birokrasi yang panjang dan potensi tumpang tindih program dapat menghambat pencapaian target pembangunan daerah. Oleh karena itu, koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah menjadi kunci agar kebijakan ini tidak justru menimbulkan efek kontraproduktif.
Dari perspektif tata kelola, langkah Menteri Keuangan patut diapresiasi jika benar-benar bertujuan untuk memperbaiki transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah. Selama ini, masih banyak kasus penyelewengan dan penggunaan anggaran yang tidak efektif di tingkat lokal. Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan bahwa sebagian besar daerah masih menghadapi temuan administrasi maupun substansi dalam pengelolaan APBD. Dengan menurunkan ketergantungan terhadap dana pusat, diharapkan daerah semakin bertanggung jawab dalam merencanakan dan melaksanakan program berdasarkan kebutuhan riil masyarakat.
Di sisi lain, pemerintah pusat juga memiliki tanggung jawab untuk memberikan pendampingan dan pelatihan kepada daerah dalam memperkuat kapasitas fiskalnya. Kebijakan pemotongan dana transfer tidak boleh diterapkan secara sepihak tanpa strategi transisi yang jelas. Diperlukan peta jalan (roadmap) yang komprehensif, mencakup reformasi pajak daerah, penguatan sistem perencanaan, serta digitalisasi keuangan publik. Dengan demikian, pemangkasan anggaran dapat berjalan seiring dengan peningkatan kemampuan daerah dalam mengelola keuangannya secara mandiri dan berkelanjutan.
Kemandirian fiskal sejatinya bukan hanya soal menambah pendapatan, tetapi juga tentang efisiensi dan integritas pengelolaan anggaran. Daerah harus berani menata ulang prioritas pembangunan, memangkas pemborosan, serta mengedepankan program yang memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat. Selain itu, kolaborasi dengan sektor swasta, BUMD, dan lembaga nonpemerintah dapat menjadi alternatif dalam pembiayaan pembangunan daerah. Pemerintah daerah juga perlu memperkuat sistem informasi keuangan dan meningkatkan transparansi publik agar kepercayaan masyarakat tumbuh.
Secara keseluruhan, pemotongan dana transfer oleh Kementerian Keuangan dapat menjadi ujian sekaligus peluang. Ujian bagi daerah yang masih bergantung pada pusat, dan peluang bagi daerah yang siap bertransformasi menuju kemandirian fiskal. Kebijakan ini memang menimbulkan gejolak dan ketidakpastian dalam jangka pendek, tetapi dengan pengelolaan yang tepat, dapat mendorong lahirnya tata kelola keuangan daerah yang lebih tangguh, transparan, dan adaptif. Yang terpenting, baik pusat maupun daerah harus menempatkan kepentingan rakyat sebagai prioritas utama, agar kebijakan fiskal bukan sekadar soal angka dan anggaran, melainkan tentang bagaimana mewujudkan pembangunan yang adil dan berkelanjutan bagi seluruh wilayah Indonesia.