Program Sawah Pokok Murah dengan metoda mulsa tanpa olah tanah kini menjadi salah satu terobosan paling strategis dalam upaya mewujudkan Progul Nagari Kanyang dan swasembada pangan di Kabupaten Pesisir Selatan. Dengan pendekatan biaya produksi rendah namun berpotensi menghasilkan panen tinggi, konsep ini semakin relevan di tengah kebutuhan nasional untuk memperkuat ketahanan pangan.
Pesisir Selatan memiliki luas sawah mencapai 22.746,09 hektar, sebuah potensi besar yang bila dikelola secara optimal mampu memberi kontribusi signifikan terhadap pencapaian swasembada pangan daerah dan nasional. Pada tahun 2025, hampir 10.863 hektar di antaranya telah mendapatkan intervensi dari pemerintah pusat melalui berbagai program optimasi lahan. Program tersebut mencakup pembangunan irigasi tersier, jaringan irigasi air tanah dangkal, embung mini, hingga irigasi perpompaan. Tidak kurang dari 440 kelompok tani terlibat sebagai pelaksana kegiatan secara swakelola.
Intervensi pusat ini semakin kuat dengan dibentuknya 55 unit Brigade Pangan yang beranggotakan petani milenial. Kehadiran brigade ini membuka peluang baru dalam modernisasi pertanian di Pesisir Selatan, terutama dalam pengoperasian alat dan mesin pertanian yang diberikan pemerintah. Keterlibatan generasi muda di sektor pertanian menjadi modal vital untuk mempercepat transformasi menuju pertanian yang produktif dan berkelanjutan.
Model Sawah Pokok Murah sendiri membuktikan efektivitasnya. Pada uji coba sebelumnya di Kecamatan IV Jurai, metoda mulsa tanpa olah tanah mampu menghasilkan gabah kering hingga 7 ton per hektar dengan biaya produksi yang jauh lebih efisien. Teknologi ini kini menjadi bahan pembicaraan hangat di tingkat Sumatera Barat karena dinilai mampu menjawab persoalan klasik sektor pertanian: tingginya biaya produksi dan terbatasnya sarana pendukung.
Peluang pengembangan sektor ini semakin besar dengan potensi tambahan di kawasan WKPP Salido yang memiliki hamparan sawah seluas 150,46 hektar. Kawasan ini bahkan berpotensi dikembangkan sebagai wisata tani, mengingat kondisi lingkungannya mirip dengan kawasan-kawasan terkenal seperti Lembur Pakuan di Jawa Barat. Kolaborasi antara pertanian dan pariwisata bukan hanya dapat meningkatkan pendapatan petani, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru bagi masyarakat setempat.
Optimalisasi potensi tersebut tentu membutuhkan dukungan infrastruktur. Salah satu kebutuhan mendesak adalah peningkatan jalan lingkar usaha tani dari Simpang Kantor BPP IV Jurai hingga Simpang Banda Rasah. Infrastruktur dasar ini menjadi kunci untuk memperkuat akses produksi, distribusi, hingga pengembangan wisata tani di masa mendatang.
Di sisi lain, kebijakan penurunan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk subsidi sebesar 20 persen—menjadikan pupuk Urea Rp90.000 dan NPK Rp92.000 per karung—memberi angin segar bagi petani. Kebijakan ini menegaskan komitmen pemerintah dalam menekan biaya produksi dan memastikan subsidi benar-benar dinikmati oleh petani. Kepatuhan distributor dan kios pengecer terhadap HET menjadi syarat mutlak agar tujuan tersebut dapat tercapai.
Dengan berbagai langkah strategis tersebut, peluang untuk mewujudkan Progul Nagari Kanyang dan swasembada pangan di Pesisir Selatan semakin terbuka lebar. Kolaborasi pemerintah daerah, dukungan pemerintah pusat, keterlibatan petani milenial, pengorganisasian kelompok tani, serta semangat gotong royong masyarakat menjadi fondasi yang memperkuat harapan tersebut.
Jika seluruh potensi ini terus disinergikan, maka Pesisir Selatan bukan hanya mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri, tetapi juga berkontribusi dalam menjawab tantangan besar ketahanan pangan nasional. Sawah Pokok Murah, optimasi lahan, dan semangat petani menjadi simbol bahwa kemandirian pangan bukan hanya cita-cita, tetapi peluang nyata yang sedang diwujudkan.