• info@pesisirselatan.go.id
  • Hours: Mon-Fri: 8am – 4pm
Pergeseran Nilai Gotong Royong di Era Individualisme

18 November 2025

1 kali dibaca

Pergeseran Nilai Gotong Royong di Era Individualisme

Oleh Afrizal

Gotong royong merupakan salah satu nilai sosial yang telah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Indonesia sejak dahulu. Ia bukan sekadar tradisi, tetapi fondasi solidaritas sosial yang menjadi penopang hubungan antarwarga. Dalam berbagai aktivitas, mulai dari membangun rumah, membersihkan lingkungan, hingga membantu keluarga yang sedang kesulitan, gotong royong menjadi simbol kebersamaan yang melekat dalam budaya bangsa.

Namun, perkembangan zaman membawa perubahan yang tak dapat dihindari. Modernisasi, urbanisasi, dan perkembangan teknologi telah membentuk pola hidup baru di masyarakat. Munculnya gaya hidup individualistis mulai menggeser cara pandang orang terhadap hubungan sosial, termasuk terhadap praktik gotong royong. Aktivitas bersama yang dulu menjadi rutinitas kini mulai jarang ditemui di beberapa wilayah, terutama di kawasan perkotaan.

Perubahan pola mata pencaharian juga berpengaruh besar terhadap melemahnya semangat kebersamaan. Masyarakat kini lebih sibuk dengan pekerjaan masing-masing, sehingga waktu untuk berkegiatan sosial semakin terbatas. Kesibukan ini membuat interaksi antarwarga menurun, dan ruang untuk gotong royong menjadi semakin sempit. Situasi ini semakin diperburuk oleh tekanan ekonomi yang mendorong masyarakat untuk lebih fokus pada kebutuhan pribadi.

Kemajuan teknologi yang menciptakan kenyamanan hidup ternyata membawa dampak ganda. Di satu sisi, teknologi memudahkan aktivitas manusia, tetapi di sisi lain perlahan mengurangi kedekatan sosial. Interaksi yang dulu dilakukan secara langsung kini banyak berpindah ke ruang digital. Akibatnya, hubungan emosional antarwarga semakin renggang, dan semangat gotong royong sebagai bagian dari interaksi sosial mulai luntur.

Urbanisasi juga memicu perubahan besar dalam struktur sosial. Ketika masyarakat dari berbagai daerah berkumpul di kota besar, ikatan kekeluargaan dan kedaerahan menjadi tidak sekuat di kampung halaman. Kehidupan di perkotaan yang serba cepat dan individualistis membuat banyak orang lebih memilih fokus pada diri sendiri. Perasaan memiliki komunitas pun memudar, sehingga praktik gotong royong tidak lagi menjadi prioritas dalam kehidupan mereka.

Meski demikian, semangat gotong royong sebenarnya tidak sepenuhnya hilang. Ia masih terlihat kuat di beberapa wilayah, terutama di pedesaan yang ikatan sosialnya lebih terjaga. Di sana, kegiatan seperti membersihkan saluran air, memperbaiki fasilitas umum, atau membantu tetangga masih dilakukan bersama-sama. Nilai gotong royong tetap hidup karena masyarakatnya memegang teguh prinsip kebersamaan dan saling membantu.

Pandemi COVID-19 memberikan bukti bahwa nilai gotong royong masih relevan dan bisa muncul kembali ketika masyarakat menghadapi situasi sulit. Di berbagai tempat, warga saling membantu menyediakan makanan, membentuk posko bantuan, dan mendukung mereka yang terdampak. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun individualisme menguat, solidaritas sosial tetap menjadi kekuatan yang dapat diandalkan saat krisis melanda.

Tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana menjaga agar nilai gotong royong tetap relevan di tengah perubahan zaman. Masyarakat perlu menemukan bentuk-bentuk baru praktik kebersamaan yang sesuai dengan perkembangan teknologi dan perubahan gaya hidup. Gotong royong tidak harus selalu berbentuk kegiatan fisik, melainkan juga bisa hadir melalui kolaborasi digital, dukungan komunitas, atau inisiatif sosial berbasis teknologi.

Pendidikan menjadi salah satu kunci penting dalam melestarikan nilai gotong royong. Sekolah dan institusi pendidikan dapat menanamkan nilai kerja sama, empati, dan kepedulian sosial kepada generasi muda. Dengan pemahaman yang kuat sejak dini, anak-anak akan tumbuh menjadi individu yang memahami pentingnya peran mereka dalam kehidupan bermasyarakat.

Selain pendidikan formal, keluarga juga memegang peran penting. Nilai gotong royong dapat ditanamkan melalui contoh nyata sehari-hari, seperti melibatkan anak dalam kegiatan rumah, membantu tetangga, atau berpartisipasi dalam acara lingkungan. Keluarga merupakan tempat pertama di mana nilai kebersamaan dapat diperkenalkan dan dipraktikkan.

Komunitas dan organisasi masyarakat juga dapat menjadi ruang untuk memperkuat kembali budaya gotong royong. Kegiatan sosial berbasis komunitas tidak hanya membangun hubungan antarwarga, tetapi juga meningkatkan rasa memiliki terhadap lingkungan. Melalui kegiatan bersama, masyarakat dapat kembali merasakan manfaat gotong royong dalam meningkatkan kualitas hidup.

Di tengah gempuran individualisme, gotong royong tetap merupakan identitas penting bangsa Indonesia. Tantangan modern tidak seharusnya menghilangkan nilai luhur ini, tetapi justru menjadi motivasi untuk memperbaruinya. Dengan adaptasi yang tepat, gotong royong dapat terus menjadi kekuatan sosial yang menjaga harmoni dan solidaritas dalam masyarakat.

Ke depan, upaya mempertahankan nilai gotong royong harus dilakukan secara konsisten dan kolaboratif. Pemerintah, masyarakat, dan individu perlu bersama-sama merawat nilai ini agar tidak terkikis oleh perubahan zaman. Dengan gotong royong yang tetap hidup, Indonesia dapat menghadapi berbagai tantangan dengan lebih kuat, lebih tangguh, dan lebih bersatu.