• info@pesisirselatan.go.id
  • Hours: Mon-Fri: 8am – 4pm
Ekonomi dari Trotoar: Peran Pedagang Kaki Lima dalam Menggerakkan Roda UMKM

18 Oktober 2025

135 kali dibaca

Ekonomi dari Trotoar: Peran Pedagang Kaki Lima dalam Menggerakkan Roda UMKM

Pedagang kaki lima (PKL) merupakan salah satu elemen penting dalam denyut nadi perekonomian rakyat. Mereka adalah wajah nyata dari semangat wirausaha kecil yang tumbuh di tengah keterbatasan, beroperasi di trotoar, pinggir jalan, pasar tradisional, hingga area publik lainnya. Meskipun sering dipandang sebelah mata dan dianggap mengganggu ketertiban kota, keberadaan PKL sejatinya memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian nasional, terutama dalam sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Melalui aktivitas mereka, roda ekonomi terus berputar, membuka lapangan kerja, serta menyediakan barang dan jasa dengan harga terjangkau bagi masyarakat luas.

Peran PKL dalam menopang ekonomi rakyat tidak bisa dipandang remeh. Di banyak kota besar, mereka menjadi solusi bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mulai dari makanan, pakaian, hingga kebutuhan rumah tangga, semua bisa diperoleh dengan mudah dari para pedagang di pinggir jalan. Fleksibilitas dan kedekatan mereka dengan konsumen membuat PKL menjadi bagian vital dalam rantai ekonomi lokal. Tidak sedikit pelaku usaha kecil yang memulai kariernya dari berdagang di trotoar, lalu berkembang menjadi usaha yang lebih besar. Dengan demikian, PKL merupakan representasi nyata dari semangat kewirausahaan rakyat kecil yang mandiri dan tangguh.

Selain berkontribusi dalam penyediaan barang dan jasa, PKL juga memiliki peran penting dalam menciptakan lapangan kerja. Banyak di antara mereka yang melibatkan anggota keluarga atau tetangga sebagai pekerja, baik sebagai asisten penjual, tukang masak, maupun penjaga lapak. Aktivitas ini secara tidak langsung membantu mengurangi tingkat pengangguran, terutama di kalangan masyarakat dengan latar belakang pendidikan rendah. Dalam konteks ini, PKL bukan hanya sekadar pelaku ekonomi informal, melainkan juga agen sosial yang turut menekan laju pengangguran dan meningkatkan kesejahteraan keluarga.

Di sisi lain, sektor PKL juga memiliki efek berganda terhadap ekonomi daerah. Modal yang berputar di lapak-lapak kecil ini sebagian besar disalurkan kembali ke perekonomian lokal, misalnya untuk membeli bahan baku dari pasar tradisional, membeli peralatan dari toko kecil, atau menyewa tempat dari warga sekitar. Dengan demikian, uang yang beredar dari aktivitas PKL membantu menjaga kestabilan ekonomi mikro di tingkat komunitas. Inilah yang menjadikan mereka bagian integral dari ekosistem UMKM yang saling menopang dan memperkuat satu sama lain.

Namun demikian, peran besar PKL dalam menggerakkan ekonomi rakyat sering kali tidak sebanding dengan perhatian yang mereka terima. Masalah klasik seperti penertiban, penggusuran, dan kurangnya fasilitas penunjang masih menjadi momok bagi keberlangsungan usaha mereka. Pemerintah daerah sering kali menghadapi dilema antara menegakkan ketertiban umum dan menjaga keberlangsungan mata pencaharian rakyat kecil. Ketika kebijakan penertiban dilakukan tanpa pendekatan yang bijak, hal itu bisa berujung pada kehilangan sumber penghidupan bagi ribuan keluarga. Oleh karena itu, pendekatan yang humanis dan terencana sangat diperlukan dalam penataan sektor PKL agar aspek ekonomi dan sosial dapat berjalan seimbang.

Penataan PKL tidak harus selalu diartikan sebagai penggusuran, tetapi bisa dilakukan melalui pengaturan lokasi dan fasilitas yang lebih baik. Pemerintah dapat menyediakan zona khusus PKL yang tertata rapi, bersih, dan aman, tanpa menghilangkan akses mereka terhadap konsumen. Program relokasi ke sentra kuliner, pasar rakyat modern, atau area wisata kuliner bisa menjadi solusi yang saling menguntungkan. Dengan pendekatan ini, kota tetap tertib dan bersih, sementara para PKL tetap memiliki ruang untuk berusaha. Beberapa kota di Indonesia, seperti Yogyakarta, Bandung, dan Surakarta, telah berhasil menata PKL tanpa mematikan mata pencaharian mereka. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan PKL sendiri sangat mungkin dilakukan.

Selain dukungan fasilitas, akses terhadap permodalan juga menjadi kunci dalam pemberdayaan PKL. Selama ini, banyak pedagang kecil yang sulit mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan formal karena tidak memiliki jaminan atau catatan keuangan yang rapi. Pemerintah dapat memperluas akses mereka melalui program kredit mikro seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) atau bantuan modal berbasis komunitas. Lembaga keuangan mikro dan koperasi juga bisa berperan aktif dalam memberikan pinjaman lunak dan pendampingan usaha. Dengan modal yang memadai, para PKL dapat meningkatkan kualitas produk, memperluas usaha, serta meningkatkan daya saingnya di pasar lokal.

Digitalisasi juga membuka peluang baru bagi para pedagang kaki lima. Di era teknologi seperti sekarang, banyak PKL yang mulai beradaptasi dengan platform digital, seperti menerima pembayaran non-tunai, memasarkan produk lewat media sosial, atau bergabung dalam aplikasi pemesanan makanan online. Transformasi ini tidak hanya memperluas jangkauan pasar mereka, tetapi juga meningkatkan efisiensi dan transparansi usaha. Pemerintah dan komunitas digital dapat berperan dengan memberikan pelatihan literasi digital kepada para pedagang agar mereka tidak tertinggal dalam arus modernisasi ekonomi.

Dari sisi sosial, PKL memiliki peran yang lebih luas dari sekadar aspek ekonomi. Mereka adalah bagian dari kehidupan kota yang menciptakan dinamika sosial dan budaya tersendiri. Warung kopi pinggir jalan, pedagang makanan malam, dan kios kecil sering kali menjadi tempat interaksi sosial antarwarga, mempererat solidaritas dan rasa kebersamaan di tengah kehidupan perkotaan yang cenderung individualistik. Keberadaan mereka turut membentuk identitas kota dan memperkaya karakter ruang publik. Dengan kata lain, PKL bukan hanya penggerak ekonomi, tetapi juga penjaga kehidupan sosial di ruang-ruang terbuka.

Meski begitu, agar peran PKL semakin optimal dalam menggerakkan roda UMKM, diperlukan sinergi yang kuat antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat. Pemerintah harus hadir sebagai fasilitator, bukan hanya penegak aturan. Pendekatan kolaboratif, partisipatif, dan empatik perlu dikedepankan dalam setiap kebijakan terkait penataan PKL. Di sisi lain, para pedagang juga harus memiliki kesadaran untuk menjaga kebersihan, ketertiban, dan mematuhi aturan yang berlaku agar keberadaan mereka tidak menimbulkan masalah baru di ruang publik. Masyarakat pun diharapkan dapat mendukung dengan membeli produk mereka dan menghargai upaya keras yang dilakukan untuk bertahan hidup.

Pada akhirnya, pedagang kaki lima adalah potret nyata dari ekonomi kerakyatan yang hidup dan berdenyut di setiap sudut kota. Mereka adalah pelaku usaha kecil yang tangguh, kreatif, dan berani mengambil risiko demi menghidupi keluarga. Di balik kesederhanaan lapak mereka, tersimpan kontribusi besar terhadap ketahanan ekonomi nasional. Oleh karena itu, sudah saatnya pandangan terhadap PKL bergeser dari stigma informal menuju pengakuan sebagai pilar penting dalam sistem ekonomi rakyat. Dengan dukungan yang tepat, pedagang kaki lima akan terus menjadi motor penggerak ekonomi dari trotoar tempat di mana semangat wirausaha rakyat tak pernah padam.