• info@pesisirselatan.go.id
  • Hours: Mon-Fri: 8am – 4pm
Kepercayaan yang Tergerus: Memulihkan Relasi antara Institusi Publik dan Warga melalui Komunikasi Transparan

31 Oktober 2025

10 kali dibaca

Kepercayaan yang Tergerus: Memulihkan Relasi antara Institusi Publik dan Warga melalui Komunikasi Transparan

Dalam lanskap demokrasi modern, kepercayaan publik merupakan fondasi yang menopang legitimasi dan efektivitas sebuah institusi. Namun, di era informasi yang serba cepat dan terbuka seperti saat ini, kepercayaan terhadap institusi publik kian mengalami erosi. Warga semakin skeptis terhadap pernyataan resmi pemerintah, kebijakan publik sering kali dianggap tidak berpihak, dan berbagai skandal birokrasi yang terekspos di media sosial semakin memperparah krisis kepercayaan ini. Fenomena ini tidak hanya terjadi di satu negara, melainkan menjadi gejala global yang menandai perubahan hubungan antara warga dan institusi. Di tengah situasi tersebut, komunikasi transparan menjadi kunci untuk membangun kembali jembatan kepercayaan antara keduanya.

Kepercayaan publik sejatinya dibangun dari pengalaman dan persepsi masyarakat terhadap integritas, konsistensi, serta akuntabilitas lembaga publik. Ketika masyarakat merasa bahwa keputusan publik diambil secara adil, informasi disampaikan dengan jujur, dan aspirasi mereka didengar, maka kepercayaan tumbuh secara alami. Sebaliknya, ketika komunikasi publik bersifat tertutup, penuh jargon politik, atau manipulatif, warga akan merasa diabaikan dan mengembangkan sikap sinis terhadap institusi. Di era keterbukaan informasi, kebohongan sekecil apa pun dapat terungkap dengan cepat, dan setiap upaya menutupi kebenaran justru berbalik menjadi bumerang yang memperdalam jurang ketidakpercayaan.

Dalam konteks pemerintahan modern, komunikasi publik bukan lagi sekadar penyampaian pesan satu arah dari institusi kepada masyarakat. Komunikasi kini dipahami sebagai proses interaktif yang menuntut dialog, partisipasi, dan keterbukaan. Institusi publik harus mampu menjelaskan kebijakan dengan bahasa yang mudah dipahami, menyediakan akses terhadap data yang relevan, serta memberi ruang bagi masyarakat untuk memberikan umpan balik. Transparansi tidak hanya berarti membuka data, tetapi juga menghadirkan kejelasan dalam proses pengambilan keputusan dan tanggung jawab terhadap hasilnya. Dengan kata lain, transparansi adalah bentuk penghormatan terhadap hak warga untuk mengetahui dan menilai bagaimana kekuasaan dijalankan.

Salah satu penyebab utama tergerusnya kepercayaan publik adalah ketidaksesuaian antara ucapan dan tindakan institusi. Banyak lembaga yang gencar berbicara tentang pelayanan publik yang prima, namun kenyataannya masih diwarnai praktik korupsi, diskriminasi, atau birokrasi berbelit. Ketika janji tidak sejalan dengan realitas, warga merasa dikhianati. Dalam situasi seperti ini, komunikasi transparan dapat menjadi alat pemulihan. Misalnya, ketika institusi berani mengakui kesalahan, menjelaskan sebabnya, dan menginformasikan langkah korektif yang diambil, publik cenderung lebih menghargai kejujuran tersebut dibanding sekadar melihat pencitraan yang kosong. Kejujuran dan kerendahan hati justru menjadi sumber kekuatan moral yang bisa mengembalikan kredibilitas lembaga.

Selain itu, media sosial telah mengubah secara drastis cara masyarakat mengakses dan menilai informasi. Dalam ruang digital, narasi tentang institusi publik tidak lagi sepenuhnya dikendalikan oleh pejabat atau humas pemerintah. Warga menjadi produsen informasi, pengawas kebijakan, bahkan pembentuk opini publik. Jika institusi publik tidak hadir secara aktif dan terbuka di ruang digital ini, maka mereka akan kehilangan kendali atas narasi dan berisiko disalahpahami. Oleh karena itu, kehadiran digital pemerintah atau lembaga publik harus diorientasikan pada dialog, bukan propaganda. Komunikasi dua arah melalui kanal digital memungkinkan terbangunnya relasi emosional antara warga dan institusi, di mana warga merasa didengarkan dan dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.

Prinsip open government atau pemerintahan terbuka menjadi salah satu pendekatan yang efektif dalam membangun kembali kepercayaan publik. Prinsip ini berlandaskan pada tiga pilar utama: transparansi, partisipasi, dan kolaborasi. Transparansi berarti pemerintah membuka informasi publik secara proaktif dan mudah diakses. Partisipasi memberikan ruang bagi masyarakat untuk berkontribusi dalam perumusan dan evaluasi kebijakan. Sedangkan kolaborasi menekankan kemitraan antara pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta dalam mencapai tujuan bersama. Ketika prinsip-prinsip ini diimplementasikan dengan sungguh-sungguh, maka jarak antara institusi dan warga akan menyempit, dan rasa saling percaya akan tumbuh kembali secara organik.

Namun, membangun komunikasi transparan tidak selalu mudah. Banyak tantangan yang harus dihadapi, baik dari sisi budaya birokrasi maupun kapasitas sumber daya manusia. Budaya birokrasi yang terbiasa dengan pola komunikasi top-down sering kali memandang keterbukaan sebagai ancaman, bukan sebagai kebutuhan. Ketakutan akan kritik atau sorotan publik membuat sebagian pejabat enggan berbicara jujur. Padahal, dalam era keterbukaan, menyembunyikan informasi justru menimbulkan kecurigaan yang lebih besar. Diperlukan perubahan paradigma bahwa transparansi bukanlah kelemahan, melainkan tanda kedewasaan institusi dalam menghadapi tanggung jawab publik.

Dari sisi sumber daya manusia, kapasitas pejabat publik dan humas pemerintah perlu ditingkatkan agar mampu berkomunikasi secara efektif dan empatik. Mereka bukan hanya bertugas menyampaikan pesan, tetapi juga menjadi jembatan yang menghubungkan kebijakan dengan kebutuhan nyata masyarakat. Pelatihan komunikasi publik yang menekankan nilai kejujuran, empati, dan responsif terhadap kritik menjadi sangat penting. Di era digital, kemampuan literasi media dan pemahaman terhadap dinamika opini publik di media sosial juga menjadi bagian dari kompetensi yang wajib dimiliki oleh aparatur publik.

Selain komunikasi dari atas ke bawah, penting pula membangun komunikasi horizontal antar-lembaga publik. Sering kali, kebingungan dan ketidakpercayaan masyarakat muncul akibat inkonsistensi pesan antarinstansi. Ketika satu lembaga menyampaikan informasi yang berbeda dengan lembaga lainnya, publik menjadi ragu terhadap kebenaran yang disampaikan. Koordinasi komunikasi publik harus diperkuat agar pesan pemerintah bersifat konsisten, jelas, dan tidak menimbulkan kebingungan. Di sisi lain, jurnalis dan media massa juga memiliki peran penting dalam memperkuat komunikasi transparan. Media yang bekerja secara independen dan etis membantu masyarakat memahami konteks kebijakan, bukan sekadar mengejar sensasi atau kontroversi.

Krisis kepercayaan terhadap institusi publik tidak bisa diselesaikan hanya dengan strategi komunikasi, tetapi komunikasi yang baik adalah titik awal yang paling realistis dan berdampak. Ketika masyarakat merasa dilibatkan, dihargai, dan diberi akses terhadap informasi yang jujur, mereka akan lebih mudah memberikan kepercayaan kembali. Dalam jangka panjang, komunikasi transparan tidak hanya memulihkan citra institusi, tetapi juga memperkuat fondasi demokrasi itu sendiri. Sebab, demokrasi sejati tidak hanya ditandai oleh pemilihan umum yang rutin, tetapi oleh adanya hubungan saling percaya antara warga dan lembaga yang mengelola kekuasaan publik.

Akhirnya, memulihkan kepercayaan publik bukanlah proyek jangka pendek, melainkan proses panjang yang memerlukan komitmen dan konsistensi. Komunikasi transparan menjadi inti dari proses tersebut karena ia menghadirkan kejujuran, membuka ruang dialog, dan menegaskan tanggung jawab moral institusi terhadap warga. Di tengah arus disinformasi, polarisasi, dan populisme yang mengancam stabilitas sosial, transparansi menjadi cahaya penuntun bagi terwujudnya pemerintahan yang terbuka, akuntabel, dan berorientasi pada kepentingan rakyat. Jika komunikasi yang jujur dan terbuka menjadi budaya baru dalam birokrasi, maka kepercayaan yang tergerus perlahan akan kembali pulih, dan relasi antara institusi publik dan warga dapat tumbuh lebih sehat dan berkelanjutan