Perhatian Pemerintah Pusat terhadap Kawasan Transmigrasi Lunang–Silaut kini semakin nyata. Melalui program Patriot Desa dan Jelajah Negeri yang digagas oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, semangat membangun dari desa dan pinggiran menemukan bentuk konkretnya di Pesisir Selatan. Kehadiran dua program strategis ini menjadi bukti bahwa pemerintah pusat tidak lagi memandang kawasan transmigrasi sekadar sebagai proyek pemukiman, tetapi sebagai motor pertumbuhan ekonomi baru yang mampu menggerakkan kemandirian lokal.Begitulah yang dapat kami rasakan dari Focus Group Discussion (FGD) bersama tim Jelajah Negeri dan beberapa OPD terkait komoditas unggulan, khususnya untuk Kawasan Transmigrasi Lunang-Silaut, di Bapedalitbang, Selasa 28 Oktober 2025, sehingga dengan menambahkan beberapa sumber tambahan dapat kami sampaikan tulisan refektif tema FGD tersebut.
Bagi Kabupaten Pesisir Selatan, perhatian ini adalah peluang besar dan momentum penting. Lunang–Silaut tidak lagi berdiri sendiri sebagai kawasan transmigrasi lama yang menunggu perhatian, melainkan telah ditetapkan sebagai Kawasan Transmigrasi Berdaya Saing yang masuk dalam peta pembangunan nasional. Program Patriot Desa menempatkan tenaga muda profesional untuk mendampingi pemerintah nagari dan masyarakat dalam pengelolaan potensi ekonomi, sosial, dan lingkungan. Sementara Jelajah Negeri menjadi jembatan kolaborasi lintas daerah dan lintas sektor yang membuka akses investasi, kemitraan, serta promosi potensi unggulan daerah.
Dengan dukungan langsung dari pemerintah pusat ini, Pesisir Selatan memiliki momentum untuk mempercepat transformasi kawasan Lunang–Silaut menjadi pusat ekonomi baru berbasis masyarakat. Program nasional tersebut membuka peluang bagi integrasi pembangunan antara nagari, kecamatan, dan kabupaten dalam satu sistem kerja yang terarah dan terukur. Pembangunan tidak lagi berjalan sektoral, tetapi bergerak dalam satu orkestrasi yang menyatukan peran pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat.
Lebih dari itu, kehadiran program Patriot Desa dan Jelajah Negeri menegaskan bahwa pembangunan dari pinggiran bukan sekadar slogan politik, melainkan strategi nyata untuk menghadirkan keadilan sosial dan pemerataan kesempatan. Lunang–Silaut menjadi simbol bahwa desa-desa di ujung selatan Pesisir Selatan kini mendapatkan energi baru untuk tumbuh—bukan sebagai penonton dari kemajuan, tetapi sebagai pelaku utama pembangunan yang berdikari di tanah sendiri.
Kawasan Transmigrasi Lunang–Silaut di Kabupaten Pesisir Selatan mungkin tidak sepopuler destinasi wisata Mandeh atau Pantai Carocok. Namun bagi yang memahami arah pembangunan nasional, Lunang–Silaut adalah salah satu simpul strategis masa depan Sumatera Barat. Kawasan ini termasuk dalam tujuh Kawasan Transmigrasi Prioritas Nasional Berdaya Saing, bersama daerah-daerah seperti Rasau Jaya di Kalimantan Barat dan Tobadak di Sulawesi Barat dn sebagainya. Artinya, pemerintah pusat menempatkan Lunang–Silaut sebagai kawasan unggulan yang diharapkan menjadi episentrum pertumbuhan ekonomi baru di luar kota-kota besar.
Namun, untuk sampai pada status “berdaya saing”, jalan yang harus ditempuh masih panjang dan berliku. Hasil evaluasi Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi menunjukkan bahwa Lunang–Silaut memang telah mengalami kemajuan cukup signifikan, dengan nilai indeks perkembangan kawasan meningkat dari 59,63 menjadi 66,65. Tetapi angka ini masih di bawah target 75,00 angka inilah ambang batas untuk mencapai klasifikasi kawasan berdaya saing. Di balik capaian itu, tersimpan persoalan klasik: masalah administrasi lahan, kelembagaan ekonomi yang belum aktif, keterbatasan infrastruktur, serta belum tergarapnya potensi unggulan seperti kelapa sawit, peternakan sapi, perikanan air tawar, dan wisata pesisir Pantai Sambungo.
Namun, sebagaimana daerah transmigrasi lain, Lunang–Silaut menyimpan dua wajah: potensi dan tantangan. Di satu sisi, kawasan ini memiliki sumber daya alam yang kaya dengan adanya perkebunan kelapa sawit yang luas, peternakan sapi, potensi perikanan air tawar, hingga keindahan pesisir Pantai Sambungo yang menunggu sentuhan pariwisata. Di sisi lain, masih ada problem struktural: legalisasi lahan yang belum tuntas, kelembagaan ekonomi yang lemah, dan rendahnya nilai tambah komoditas lokal.
Sementara itu, kehadiran korporasi besar di sektor perkebunan menghadirkan dilema tersendiri. Korporasi membawa investasi, modal, dan teknologi, tetapi sering kali keuntungan ekonomi yang dihasilkan tidak berimbang dengan manfaat yang dirasakan masyarakat sekitar. Dalam banyak kasus, masyarakat transmigran dan penduduk lokal hanya menjadi buruh di tanah yang dulunya mereka garap, atau tanah adat mereka, bahkan sekadar menjadi penonton dari kemakmuran yang tumbuh di wilayah mereka sendiri.
Padahal, filosofi pembangunan kawasan transmigrasi tidak berhenti pada perpindahan penduduk, tetapi harus berlanjut menjadi pembangunan kemandirian dan keadilan ekonomi. Karena itu, hubungan antara korporasi dan masyarakat Lunang–Silaut harus dibangun di atas simbiosis mutualisme, bukan relasi eksploitatif.
Simbiosis mutualisme berarti kedua pihak saling menguntungkan dan tumbuh bersama. Korporasi harus hadir bukan hanya sebagai pemodal, tetapi juga sebagai pembina, mitra, dan katalisator kemajuan masyarakat. Pemerintah daerah, melalui kebijakan yang berpihak, wajib memastikan terciptanya kemitraan produktif antara perusahaan dan warga. Sementara masyarakat harus memposisikan diri bukan sebagai objek, tetapi subjek pembangunan yang memiliki kapasitas dan daya tawar ekonomi.
Ada beberapa peran penting yang perlu dibangun untuk menciptakan keseimbangan tersebut.
Pertama, korporasi harus membuka ruang kemitraan yang setara melalui model plasma inti atau offtaker partnership, di mana masyarakat memiliki akses terhadap lahan, bibit, dan teknologi dengan jaminan pembelian hasil. Dengan pola ini, petani lokal tidak sekadar menjadi pekerja upahan, tetapi menjadi bagian dari rantai pasok utama perusahaan.
Kedua, pemerintah daerah harus berperan sebagai fasilitator dan penjaga keseimbangan kepentingan. Melalui regulasi dan pelimpahan kewenangan ke tingkat kecamatan, pemerintah dapat memastikan korporasi mematuhi prinsip tanggung jawab sosial, membuka akses pasar, dan melakukan transfer pengetahuan kepada petani lokal. Camat dan nagari harus aktif menjadi simpul koordinasi antara dunia usaha dan masyarakat agar hubungan ekonomi berjalan adil dan transparan.
Ketiga, masyarakat harus memperkuat kelembagaan ekonominya. Peningkatan ekonomi baik melalui koperasi, BUMNag, maupun kelompok tani, agar memiliki daya tawar kolektif. Kelembagaan ini dapat menjadi mitra resmi korporasi dalam kontrak bisnis dan distribusi hasil produksi. Dengan dukungan Bappeda, Dinas Pertanian, dan Dinas Koperasi UKM, masyarakat dapat didorong membangun korporasi petani nagari yang profesional dan mampu mengelola bisnis bersama.
Jika pola ini dijalankan, maka akan tercipta ekosistem ekonomi yang saling menopang. Korporasi tumbuh karena dukungan tenaga kerja dan suplai bahan baku dari masyarakat, sementara masyarakat memperoleh pendapatan yang layak, akses teknologi, dan peningkatan kapasitas ekonomi. Di titik inilah kehadiran perusahaan tidak lagi dilihat sebagai ancaman, melainkan sebagai mitra strategis pembangunan daerah.
Namun hubungan yang adil tidak akan lahir tanpa kesungguhan. Pemerintah daerah harus sungguh-sungguh memfasilitasi, korporasi harus sungguh-sungguh berbagi, dan masyarakat harus sungguh-sungguh belajar serta berani berinovasi. Pembangunan Lunang–Silaut bukan hanya soal proyek fisik, melainkan soal rasa memiliki. Tentang bagaimana masyarakat mencintai dan membangun tanah yang mereka diami dengan penuh tanggung jawab.
Kesungguhan ini pula yang menjadi dasar penting kebijakan untuk dipertimbangkan dalam pelimpahan kewenangan dari Bupati kepada Camat Lunang dan Camat Silaut. Dengan kewenangan yang lebih luas, camat dapat menjadi penggerak koordinasi lintas nagari dan jembatan antara masyarakat dengan korporasi. Pelimpahan kewenangan mempercepat proses perizinan, penyelesaian masalah lahan, serta memastikan semua kegiatan pembangunan selaras dengan kepentingan warga.
Tentu, setiap pelimpahan harus diikuti pengawasan dan akuntabilitas. Karena itu, dibutuhkan sistem pelaporan digital terpadu, seperti Dasboard Kawasan Lunang–Silaut, yang memungkinkan data pembangunan, produksi pertanian, hingga aktivitas kemitraan dengan perusahaan dapat dipantau secara real-time oleh pemerintah daerah. Transparansi seperti ini bukan hanya menekan penyimpangan, tetapi juga menumbuhkan kepercayaan publik terhadap arah kebijakan pemerintah.
Arah pembangunan Lunang–Silaut kini semakin jelas. Kawasan ini dapat menjadi contoh bagaimana transmigrasi bertransformasi menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru yang inklusif dan berbasis teknologi. Pertanian modern, peternakan terpadu, perikanan produktif, dan pariwisata pesisir yang lestari dapat menjadi pilar ekonomi baru yang melibatkan masyarakat sebagai pelaku utama.
Namun, semua itu tidak akan berarti jika masyarakat tetap berada di pinggiran proses pembangunan. Pemerintah dan dunia usaha harus memastikan bahwa setiap langkah pembangunan selalu berpihak pada manusia, bukan hanya pada angka. Keberhasilan Lunang–Silaut tidak akan diukur dari berapa banyak pabrik berdiri atau berapa panjang jalan dibangun, tetapi dari berapa banyak keluarga yang berdaya, sejahtera, dan bangga tinggal di tanah sendiri.
Hubungan antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten seharusnya bersifat kolaboratif, bukan hierarkis. Pemerintah pusat memang memiliki fungsi pengarahan dan standardisasi, sementara provinsi berperan sebagai koordinator lintas kabupaten. Tetapi, pelaksanaan teknis dan pengelolaan wilayah sehari-hari tetap harus dikendalikan oleh pemerintah kabupaten, karena merekalah yang memiliki kewenangan teritorial dan kedekatan langsung dengan masyarakat.
Pemerintah kabupaten juga perlu memperkuat kapasitas kelembagaan dan kredibilitas tata kelolanya. Sebab, untuk menegosiasikan posisi dengan pemerintah provinsi dan pusat, kabupaten harus memiliki dasar data yang kuat, argumentasi kebijakan yang solid, serta kemampuan pelaporan yang transparan. Di sinilah pentingnya sistem informasi pembangunan berbasis data lapangan
Pemerintah daerah perlu membangun diplomasi kebijakan yang proaktif terhadap provinsi dan pusat. Artinya, tidak hanya menunggu program, tetapi aktif mengusulkan model kemitraan, skema anggaran bersama, dan proyek strategis lintas level. Pemda tidak boleh hanya menjadi pelaksana kebijakan dari atas, tetapi harus tampil sebagai mitra strategis yang dipercaya karena mampu mengelola wilayahnya dengan efektif dan akuntabel.
Pemerintah pusat dan provinsi tentu memiliki niat baik dalam mendorong pembangunan kawasan. Namun niat baik itu hanya akan efektif bila dibarengi dengan penghormatan terhadap kapasitas dan kedaulatan administratif kabupaten. Kabupaten adalah ujung tombak implementasi kebijakan nasional. Tanpa penguatan di tingkat ini, maka semangat pembangunan dari pinggiran akan kehilangan makna. Kepala Daerah adalah wakil pemerintah pusat di daerah.
Sehingga kita harapkan Kawasan Lunang–Silaut mengajarkan kita bahwa pembangunan sejati bukan sekadar mempercepat, tetapi juga memanusiakan. Ketika pemerintah, masyarakat, dan korporasi dapat hidup dalam simbiosis mutualisme-saling menguntungkan-, maka yang tumbuh bukan hanya ekonomi, melainkan juga rasa percaya, rasa adil, dan kebanggaan bersama. Inilah semangat yang harus dijaga agar Lunang–Silaut benar-benar menjadi wajah baru pembangunan Indonesia dari pinggiran: berdaya, berkeadilan, dan berkelanjutan. Terimakasih
Ditulis oleh: Suryatmono, S.Si