Perkembangan teknologi telah melahirkan sebuah peradaban baru di mana konektivitas global menjadi sebuah keniscayaan, menjadikan seluruh informasi dan interaksi bersemayam dalam genggaman. Layar ponsel bukan lagi sekadar medium, melainkan telah bertransformasi menjadi panggung raksasa tempat miliaran warganet saling bertegur sapa, berbisnis, hingga meluapkan segala rasa, sebuah fase di mana kegiatan sehari-hari terasa serba cepat, canggih, dan mudah diakses. Namun, di balik segala kemajuan yang gemilang ini, terselip sebuah ironi yang getir: kemudahan komunikasi, alih-alih merajut keharmonisan, justru terbukti menjadi sarana bagi merebaknya disrupsi etika berbahasa, terutama yang terwujud dalam fenomena agresivitas masif di kolom komentar media sosial.
Indonesia, dengan tingginya penetrasi pengguna digital, mau tak mau menjadi saksi bisu, bahkan pelaku utama, dari eskalasi kejahatan berbahasa (language crime). Kita sering menemukan kolom komentar platform populer seperti Instagram, facebook, tiktok, yang seharusnya menjadi ruang diskursus yang sehat, kini dipenuhi oleh ujaran kebencian (hate speech), fitnah, sindiran, dan bullying yang merusak mentalitas. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar yang menusuk kesadaran. Tidakkah kita menyadari bahwa kata-kata yang dilempar tanpa wajah di dunia maya sesungguhnya melukai jiwa lebih dalam dari pada sekadar luka fisik? Erosi moralitas ini terjadi karena adanya pergeseran cara pandang terhadap interaksi digital, yang salah satunya dipicu oleh ilusi anonimitas dan jarak.
Gejala yang paling kentara adalah munculnya "efek disinhibisi online" yakni penurunan hambatan psikologis yang membuat seseorang lebih mudah mengungkapkan pikiran dan perilaku secara online, sering kali karena adanya anonimitas dan jarak. Ini bisa membuat orang lebih jujur, terbuka, dan ekspresif, tetapi juga bisa memicu perilaku negatif seperti cyberbullying atau menyakiti orang lain, yang tidak akan mereka lakukan di dunia nyata, di mana pagar-pagar etika dan norma sosial yang biasanya kita pegang teguh dalam interaksi tatap muka seolah runtuh di balik layar.
Jarak fisik menciptakan keberanian semu, memberikan lisensi kepada warganet untuk meluapkan amarah dan frustrasi tanpa perlu menghadapi konsekuensi sosial secara langsung. Mereka bersembunyi di balik nama samaran atau sekadar menganggap dampak kata-kata mereka sebagai hal yang abstrak dan jauh, padahal nyatanya, ujaran kebencian adalah tindakan nyata yang melanggar martabat dan sering kali terjerat dalam sanksi hukum yang tegas. Apakah jarak mata mampu memutus jerat nurani, ataukah kita memang memilih untuk mematikannya sejenak demi kepuasan melampiaskan emosi? Lebih lanjut, pemicu agresivitas ini juga datang dari tingginya kecenderungan pengguna, khususnya yang aktif memproduksi konten, untuk mengobral detail kehidupan pribadi secara berlebihan di ruang publik. Unggahan mengenai keluhan rumah tangga, masalah keluarga, atau drama personal sering kali dianggap melanggar batas privasi dan kesopanan yang sewajarnya, sehingga mengundang respons reaksioner dan serangan personal dari warganet. Konten-konten yang seharusnya bersifat privat ini justru menjadi umpan sempurna, mengubah kritik konstruktif menjadi hujan cemoohan yang destruktif, di mana para pelaku kemudian berlindung di balik dalih "kebebasan berekspresi" yang disalahartikan. Namun, bukankah kebebasan berpendapat sejati selalu diikat oleh benang merah etika dan tanggung jawab? Kebebasan yang tidak dibatasi oleh empati dan moralitas bukanlah kebebasan yang beradab, melainkan sebuah tirani verbal.
Menyikapi darurat etika berkomunikasi ini, Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam dan telah memperkuat "pagar pengaman" berupa hukum, yakni melalui UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU ITE. Regulasi ini, khususnya Pasal 28 ayat (2), secara tegas melarang setiap orang menyebarkan informasi elektronik yang bertujuan menimbulkan kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA. Pasal ini menjadi sinyal kuat bahwa kebebasan digital bukanlah lisensi tanpa batas; setiap kata yang diketik di media sosial kini harus dipertanggungjawabkan di hadapan hukum. Oleh karena itu, sangat mendesak bagi kita untuk kembali merenungkan peran moralitas sebagai kompas dalam navigasi digital. Nilai moral harus tetap menjadi pedoman, baik saat berinteraksi secara langsung maupun saat mengakses media sosial. Upaya kolektif untuk meredam gelombang agresivitas ini harus dimulai dari pengaktifan sensor nurani setiap individu. Kita perlu menerapkan filosofi sederhana, "Berhati-hati sebelum unggah, dan saring sebelum ketik". Sebelum menekan tombol kirim, setiap warganet wajib bertanya kepada diri sendiri: "Apakah kata-kata ini membangun, ataukah hanya akan menjadi racun yang merusak tatanan sosial?" Media sosial sejatinya adalah alat yang kuat untuk kebaikan. Sudah saatnya kita membuktikan bahwa gawai di tangan kita adalah alat untuk mencerdaskan dan menghubungkan, bukan senjata untuk menyerang dan memecah belah. Mari kita ubah kolom komentar yang tadinya jadi "medan perang" menjadi "ruang ngopi" yang hangat, tempat kita bisa bertukar pikiran dengan santun dan berfaedah.