• info@pesisirselatan.go.id
  • Hours: Mon-Fri: 8am – 4pm
Menyelamatkan Pantai dari Gigitan Abrasi

20 Oktober 2025

151 kali dibaca

Menyelamatkan Pantai dari Gigitan Abrasi

Bayangkan sebuah garis lembut di tepi bumi tempat daratan dan lautan berjumpa, diiringi angin asin dan debur ombak yang tak pernah lelah. Di sanalah pantai hidup, dinamis, dan terus berubah. Namun di balik keindahannya, pantai menyimpan kisah pilu: sedikit demi sedikit, daratan terkikis, pepohonan tumbang, rumah-rumah hilang, dan garis pantai mundur perlahan ke arah darat. Fenomena ini dikenal dengan nama abrasi musuh senyap bagi kehidupan pesisir.

Pantai bukan sekadar hamparan pasir untuk bermain ombak. Ia adalah ruang pertemuan antara darat, laut, dan udara, tempat angin, arus, dan gelombang saling beradu dalam harmoni sekaligus konflik. Interaksi itu membentuk ekosistem unik yang menjadi rumah bagi jutaan makhluk hidup. Namun, dinamika alam ini juga menjadikan pantai rentan terhadap perubahan.

Gelombang yang datang tak hanya membawa kesejukan, tapi juga tenaga besar yang mampu mengikis daratan. Saat sedimen yang diangkut laut lebih banyak daripada yang diendapkan, daratan pun perlahan surut. Begitulah abrasi bekerja diam, pasti, dan meninggalkan jejak kehilangan.

Abrasi bukan sekadar istilah geologi. Ia adalah cerita kehilangan bagi mereka yang hidup di pesisir. Pohon-pohon mangrove yang dulu berdiri gagah kini roboh ke laut. Jalan yang dahulu ramai kini terputus oleh air asin. Permukiman yang dulu bersandar pada keteduhan pantai kini harus berpindah mencari tanah yang lebih tinggi.

Lebih dari itu, abrasi juga mengancam ekosistem pesisir yang menjadi benteng alami dari badai dan banjir. Hilangnya mangrove berarti hilangnya penjaga pantai yang mampu menahan gelombang dan menyaring limbah. Padang lamun dan terumbu karang yang rusak tak lagi mampu menjadi rumah bagi ikan-ikan kecil yang menopang ekonomi masyarakat nelayan.

Pemerintah tak menutup mata. Melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 21 Tahun 2018, ditetapkan tata cara perhitungan batas sempadan pantai. Tujuannya sederhana namun vital menjaga agar ruang antara darat dan laut tetap terlindungi. Sempadan pantai bukan sekadar garis di peta, melainkan benteng alami yang memberi ruang bagi air untuk bernapas dan manusia untuk bertahan.

Penetapan batas ini mempertimbangkan berbagai aspek mulai dari topografi, biofisik, hingga kebutuhan sosial budaya masyarakat pesisir. Ia juga menjadi bagian dari upaya besar melindungi ekosistem, mencegah bencana, dan menjamin akses publik agar pantai tetap menjadi milik bersama, bukan milik segelintir pihak.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, penanganan abrasi dilakukan melalui langkah-langkah struktural dan ekologis yang saling melengkapi. Pendekatan ini meliputi pembangunan pelindung pantai seperti dinding laut, pemecah ombak (breakwater), dan tanggul beton yang berfungsi sebagai tameng sementara untuk menahan energi gelombang, meskipun tidak boleh berdiri sendiri karena alam tidak dapat dikendalikan hanya dengan beton. Upaya lainnya ialah melakukan peremajaan pantai dengan menambah kembali pasir yang hilang serta membentuk kontur pantai alami agar laut tidak langsung menggigit daratan. Selain itu, penanaman vegetasi pantai seperti mangrove, cemara laut, dan pandan pantai menjadi strategi penting karena akar-akar tanaman ini mampu menahan tanah, dedaunannya memecah angin, dan batangnya berfungsi sebagai benteng alami terhadap abrasi. Langkah terakhir adalah pengelolaan ekosistem pesisir secara berkelanjutan dengan melibatkan masyarakat sebagai penjaga sekaligus penerima manfaat, sebab menjaga pantai bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi merupakan amanah bersama untuk kelestarian lingkungan dan kehidupan pesisir.

Upaya menjaga pantai bukan sekadar proyek lingkungan. Ia adalah tindakan cinta terhadap masa depan. Ketika masyarakat menanam mangrove, mereka sejatinya sedang menanam harapan bagi generasi berikutnya. Saat pemerintah menata sempadan pantai, mereka sedang menggambar ulang batas antara alam dan ambisi manusia. Namun, tanpa kesadaran kolektif, semua itu bisa sirna. Maka, setiap warga pesisir perlu menjadi bagian dari gerakan ini menjaga kebersihan, tidak membuang sampah ke laut, dan mendukung upaya konservasi yang dilakukan oleh pemerintah dan komunitas lokal.

Abrasi mengajarkan kita satu hal penting: laut tidak pernah salah. Ia hanya merespons ketidakseimbangan yang kita ciptakan. Jika kita serakah, ia mengambil kembali. Jika kita menjaga, ia memberi kehidupan.

Menatap laut bukan hanya menikmati keindahan ombak, tapi juga memahami pesan di balik setiap deburannya bahwa bumi bukan untuk ditaklukkan, melainkan untuk dijaga bersama.